Selasa, 04 Juni 2013

TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI JURNAL




Jurnal hukum perdata
“WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”

Pengarang : M. Tjoanda



Abstrak :

Agreement is a legal relationship between two people or more, which creates certain rights and obligations. In terms of the debtor or the debt does not meet its obligations or does not meet its obligations as they should and not fulfilled that obligation because there is an element of him, then the lender has the right to demand restitution, This is what this writing melatar belakangi How problems with the form of compensation according to the Book of Law Civil Law? The results obtained that the compensation as a result of default set out in the Book of Civil Law Act, may also apply for compensation as a result of an unlawful act. Given the form of material loss and imateriil, then a form of compensation can be either kind (some money) or innatura.

Pendahuluan :

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkana mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.Tuntutan atau kewajiban tersebut lazimnya disebut sebagai prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata :
“ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu dibedakan atas :
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Dalam hal debitur atau si berutang tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang bisa menimpa dirinya.
Pertama-tama, sebagai yang disebutkan dalam pasal 1236 KUHPerdata dan 1243 KUHPerdata
Kreditur berhak untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga.Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu.
Bahwa kalau perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan.
Apabila salah satu pihak dalam perikatan merasa dirugikan oleh pihak lainnya dalam perikatan tersebut, maka hukum memberikan wahana bagi pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk melakukan gugatan ganti rugi.Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penulisan dengan permasalahan bagaimana wujud ganti rugi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?

Pembahasan :

1.       Pengertian Kerugian

Pengertian kerugian
menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi.Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.
Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur.
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain4. Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi.

Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi). Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.

2.      Unsur-Unsur Ganti Rugi

Dalam pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan :
“ biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini.”
Menurut Abdulkadir Muhammad, dari pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik unsur-unsur ganti rugi adalah sebagai berikut :
(a) Ongkos-ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya meterai, biaya iklan.
5 Ibid.
(b) Kerugian karena kerusakan, kehilangan ata barng kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian di sini adalah yang sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah-buahan karena keterlambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusakkan perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.
(c) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keutungan yang diharapkannya. Misalnya A akan menerima beras sekian ton dengna harga pembelian Rp. 250,00 per kg. Sebelum beras diterima, kemudian A menawarkan lagi kepada C dengan harga Rp. 275,00 per kg. Setelah perjanjian dibuat, ternyata beras yang diharapkan diterima pada waktunya tidak dikirim oleh penjualnya. Di sini A kehilangan keutungan yang diharapkan Rp. 25,00 per kg.6
Purwahid Patrik lebih memperinci lagi unsur-unsur kerugian. Menurut Patrik, kerugian terdiri dari dua unsur :
a. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
b. Keutungan yang tidak peroleh (lucrum cessans) meliputi bunga.
Kadang-kadang kerugian hanya merupakan kerugian yang diderita saja, tetapi kadang-kadang meliputi kedua-dua unsur tersebut.
Satrio melihat bahwa unsur-unsur ganti rugi adalah :
a. Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya
b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur.
d. Kedua-duanya sekaligus jadi sini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.

3.      Sebab-Sebab Kerugian

Dari pengertian kerugian pada sub bab sebelumnya dapat kita lihat bahwa kerugian adalah suatu pengertian kausal, yakni berkurangnya harta kekayaan (perubahan keadaan berkurangnya harta kekayaan), dan diasumsikan adanya suatu peristiwa yang menimbulkan perubahan tersebut. Syarat untuk menggeserkan kerugian itu kepada pihak lain oleh pihak yang dirugikan adalah bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh pelanggaran suatu norma oleh pihak lain tersebut.
Menurut Nurhayati Abas, ganti kerugian harus memenuhi beberapa sebab:
a. Harus ada hubungan kausal
b. Harus ada adequate
kreditur mempunyai kewajiban untuk berusaha membayar kerugian yang timbul sampai batas-batas yang patut. Kalau kreditur tidak berusaha membatasi kerugian itu maka akibat dari kelalaiannya tidakdapat dibebankan kepada debitur.Ketentuan ini juga berkaitan dengan prinsip dapat digugat dan hubungan adequat.

a.  Hubungan Sine Qua Non (Von Buri)

Syarat pertama untuk membebankan kerugian pada orang lain adalah bahwa telah terjadi pelanggaran norma yang dapat dianggap sebagai condicio sine qua non kerugian tersebut.
Menurut teori ini suatu akibat ditimbulkan oleh berbagai peristiwa yang tidak dapat ditiadakan untuk adanya akibat tersebut.Berbagai peristiwa tersebut merupakan suatu kesatuan yang disebut “sebab”.
Nieuwenhuis memberikan contoh menarik untuk ini :
C menyewakan sejumlah kamar kepada beberapa orang, termasuk A dan B. Kamar-kamar tersebut terletak di atas ruang konfeksi milik C. Menurut kontrak sewa, para penyewa dilarang menggunakan alat masak listrik. Dalam urutan kronologis terjadi yang berikut ini: 11
a. A menghubungkan alat listrik pemasak air dengan jaringan listrik.
b. B menggunakan alat listrik pemanas air dalam kamar mandi, yang menyerap tenaga listrik yang sama.
c. Aliran listrik terhenti dan mesin-mesin jahit listrik di ruang konfeksi C terhenti.
Apa yang menjadi “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit listrik tersebut? Mesin-mesin itu tidak akan berhenti andaikata A tidak menggunakan alat listrik pemanas air, Jadi tingkah laku A berpengaruh terhadap berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Peristiwa a merupakan syarat untuk timbulnya peristiwa c. Dalam artinya bahwa tanpa a, c tidak akan terjadi (condicio sine qua non).
Kalau “penyebab” dirumuskan sebagai tiap peristiwa, yang tanpa peristiwa tersebut peristiwa lain tidak akan terjadi, maka b juga merupakan “penyebab” berhentinya mesin-mesin jahit tersebut. Anadaikata B tidak menggunakan alat pemanas air di kamar mandi, maka tidak akan ada kelebihan beban listrik dan mesin-mesin jahit itu tidak akan berhenti. Jadi, meskipun peristiwa a dan b kedua-duanya merupakan conditio sine qua non untuk peristiwa c, namun ahli hukum hanya mengkualifikasikan perbuatan A sebagai penyebab berhentinya mesin-mesin jahit tersebut dan kerugian yang ditimbulkan, karena baginya yang penting adalah menetapkan apakah kerugian dapat dibebankan pada orang lain daripada yang dirugikan. Karena ini hanya mungkin jika kerugian adalah akibat pelanggaran norma oleh orang lain itu, maka ahli hukum hanya menaruh minat akan syarat-syarat untuk timbulnya kerugian dimana terdapat pula pelanggaran norma hukum. Penyebab dalam arti yuridis dalam situasi di atas hanya penggunaan alat pemanas air minum oleh A (yang dilarang) meskipun perbuatan B dalam ukuran yang sama turut berperan dalam timbulnya kerugian.

b. Hubungan Adequat (Von Kries)

Kerugian adalah akibat adequat pelanggaran norma apabila pelanggaran norma demikian meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya kerugian demikian. Inilah inti ajaran penyebab yang adequat.
Teori ini berpendapat bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifatnya pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat. Selanjutnya Hoge Raad memberikan perumusan, bahwa suatu perbuatan merupakan sebab jika menurut pengalaman dapat diharapkan / diduga akan terjadinya akibat yang bersangkutan. Ajaran ini mencampur adukkan antara causalitetdan pertanggunganjawaban.
Hoge Raad menganut ajaran adequate.Hal ini ternyata dari arrest-nya tanggal 18 November 1927, dimana dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan akibat yang langsung dan seketika adalah akibat yang menurut aturan-aturan pengalaman dapat diharapkan terjadi.


4. Wujud Ganti Rugi

Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu.Hoge Raad malahan berpendapat, bahwa penggantian “ongkos, kerugian, dan bunga” harus dituangkan dalam sejumlah uang tertentu.Namun jangan menjadi rancu; kreditur bisa saja menerima penggantian in natura dan membebaskan debitur. Yang tidak dapat adalah bahwa debitur menuntut kreditur agar menerima ganti rugi dalam wujud lain daripada sejumlah uang.
Pendapat seperti itu dengan tegas dikemukakan, ketika Hoge Raadmenghadapi masalah tuntutan ganti rugi dari seorang yang minta kepada toko perhiasan, agar perhiasan yang ia beli daripadanya diperbaiki, tetapi perbaikan itu ternyata malah menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih parah lagi. Hof memutuskan bahwa pemilik toko perhiasan harus mengganti kerugian, dengan cara mengembalikan harga yang dulu dibayar oleh pembeli dan pembeli mengembalikan perhiasannya. Cara perhitungan ganti rugi seperti ini tidak dibenarkan oleh Hoge Raad.Ganti rugi harus diwujudkan dalam sejumlah uang.
Pitlo berpendapat bahwa undang-undang kita tidak memberikan dasar yang cukup kuat untuk kita katakan, bahwa tuntutan ganti rugi hanya dapat dikemukakan dalam sejumlah uang tertentu.12 Alasan pokoknya sebenarnya adalah bahwa berpegang pada prinsip seperti itu banyak kesulitan-kesulitan dapat dihindarkan. Anehnya, kalau ganti rugi itu berkaitan denganonrechtmatige daad, maka syarat “dalam wujud sejumlah uang” tidak berlaku, karena Hoge Raad dalam kasus seperti itu membenarkan tuntutan ganti rugi dalam wujud lain.
Walaupun demikian hal itu tidak berarti, bahwa untuk setiap tuntutan ganti rugi kreditur harus membuktikan adanya kepentingan yang mempunyai nilai uang. Hal itu akan tampak sekali pada perikatan untuk tidak melakukan sesuatu, dimana pelanggarannya biasanya menimbulkan kerugian yang sebenarnya tidak dapat dinilai dengan uang.

Sering pula muncul pada tuntutan ganti rugi atas dasar onrechtmatige daad. Namun adanya ganti rugi atas kepentingan yang tidak dapat dinilai dengna uang, secara tegas-tegas diakui, seperti pada pasal 1601w KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“ Jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena salahnya telah berbuat melawan dengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita oleh pihak lawan tidak dapat dinilaikan dengan uang, maka Hakim akan menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan, sebagai ganti rugi”.
Lebih dari itu Pitlo secara tegas mengatakan bahwa kehilangan kesempatan menikmati kesegaran hidup (gederfde levensvreugde) dapat menjadi dasar untuk tuntutan ganti rugi; demikian juga kehilangan nilai-nilai affectie. Tuntutan ganti rugi (kerugian idiil) sebesar f. 600,00 oleh seorang komponis atas dasar telah dibawakannya lagu ciptannya dalam suatu pertunjukan komersial (dengan memungut bayaran) tanpa mendapat izinnya lebih dahulu telah dikabulkan oleh Raad van Justite Batavia dalam keputusannya tanggal 11 Maret 1927. Dengan demikian di sini dasar pemikirannya bukannya tidak boleh memberikan ganti rugi kepada kerugian yang berwujud lain, tetapi karena kerugian yang berwujud lain itu tidak dapat diganti dengan uang.
Jadi yang dimaksud bukannya sifat dari kepentingan yang dirugikan, tetapi apakah yang dirugikan bisa dipulihkan dengan pembayaran ganti rugi sejumlah uang.Kalau bisa maka hal itu berarti, bahwa kerugian itu bisa dinilai dengan uang. Untungnya pengadilan dalam hal ini tidak mengambil sikap yang kaku; rasa sakit bisa dihilangkan atau dikurangi dengan pemberian obat (yang dibayar dengan sejumlah uang), kebutaan dibantu dengan seorang penuntun (yang harus dibayar secara berkala), kenikmatan estetika bisa diganti dengan kenikmatan sejenis yang lain (yang harus dibeli atau dibayar dengan sejumlahuang). Konsekuensinya, Hakim tidak berhak menetapkan ganti rugi sejumlah uang tertentu atas kerugian, kalau bagaimanapun dengan uang itu (kerugian) tidak akan dapat dikurangi atau diperbaiki, kecuali sudah tentu kalau undang-undang sendiri membolehkan hal seperti itu.

5. Bentuk-Bentuk Kerugian

Bentuk-bentuk kerugian dapat kita bedakan atas dua bentuk yakni :

a. Kerugian materiil

b. Kerugian immateriil

Undang-undang hanya mengatur penggantian kerugian yang bersifat materiil.Kemungkinan terjadi bahwa kerugian itu menimbulkan kerugian yang immateriil, tidak berwujud, moril, idiil, tidak dapat dinilai dengan uang, tidak ekonomis, yaitu berupa sakitnya badan, penderitaan batin, rasa takut, dan sebagainya.
Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian sekian karat.Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa “pemulihan”.Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi yang dapat dikabulkan oleh hakim.
Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut.Tetapi debitur dapat “dibebankan” sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi.Misalnya ongkos dokter dan biaya sanatorium.Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali.Atau kalau kita ambil kecelakaan yang semakin merajalela di jalan raya. Karena kesalahan dan kecerobohan , A menabrak B sehingga kakinya harus diamputasi. Tak mungkin debitur mesti mengganti kaki yang dipotong itu.Bagaimana mengherstel kaki yang sudah dipotong.Yang rasional ialah sejumlah ganti rugi kebendaan berupa uang. Ini sesuai pula dengan ketentuan pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan : cacat atau puntung pada bagian badan / tubuh yang dilakukan dengan “sengaja” atau oleh karena “kurang hati-hati”, memberi hak kepada orang itu menuntut “bayaran” di luar biaya pengobatan. Dari pasal ini dapat ditarik kesimpulan si korban dapat menuntut ganti rugi “kebendaan” atau kerugian yang non-ekonomis, yang terdiri dari :

- sejumlah biaya pengobatan ;

- dan sejumlah uang bayaran sesuai dengan keadaan cacat yang diderita.

Mengenai ukuran uang bayaran cacat di luar pengobatan tadi, dinilai atas dasar “kedudukan dan kemampuan” kedua belah pihak, sambil memperhatikan hal ihwal kejadian itu sendiri.
Akan tetapi tidak setiap kerugian ekonomis mesti diganti dengan suatu yang bersifat kebendaan yang bernilai uang.Malah kadang-kadang lebih tepat diganti dengan hal-hal yang bersifat non-ekonomis pula. Umpamanya “hak perseorangan” (persoonlijkerechten) : integritas pribadi, kebebasan pribadi, memulihkan nama baik dan sebagainya. Dalam hal ini pemulihan atau rehabilitasi hak asasi perseorangan tadi, jauh lebih efektif dari pada penilaian ganti rugi uang.
Namun di luar hal-hal yang tersebut tadi biasanya ganti rugi non-ekonomis lebih sempurna bila diganti dengan sejumlah uang sebagai alat rehabilitasinya.Asal benar-benar jumlah ganti rugi tadi “efektif” banyaknya sesuai dengan perhitungan yang memungkinkan tercapainya hasil pemulihan yang mendekati keadaan semula.Misalnya pengobatan sanatorium disamping biaya pemulihan dan kehidupan selanjutnya, haruslah benar-benar efektif nilainya (effectieve waarde).

Kesimpulan :
Ganti rugi sebagai akibat pelanggaran norma, dapat disebabkan karena wanprestasi yang merupakan perikatan bersumber perjanjian dan perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan bersumber undang-undang. Ganti rugi sebagai akibat wanprestasi yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat juga diberlakukan bagi ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum.Mengingat adanya bentuk kerugian materiil dan imateriil, maka wujud ganti rugi dapat berupa natura (sejumlah uang) maupun innatura.


DAFTAR PUSTAKA
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977.
Harahap M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Meliala Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Nieuwenhuis J.H., terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985.
Patrik Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.
Satrio J., Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni, Bandung, 1999.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar